Perkembangan Pers di Dunia
Sebelum bubarnya Negara Uni
Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah membedakan sistem pers dalam
dua kelompok besar: Pers Barat yang
menganut teori pers bebas atau liberal dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di
wakili oleh Amerika dan Negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika
adalah pencetus teori tanggung jawab sosial atau dikenal pula sebagai komisi
kebebasan pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya di Eropa TimurTetapi, sejak bubarnya Negara Uni
Soviet, dan sistem politik Negara-negara Eropa Timur yang menganut paham
komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers Timur itu
kiranya sudah tidak relevan lagi.Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem
Pers Barat bahkan sangat bertentangan. Karena dalam sistem Pers Timur, berita
tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud dari berita tidak dipandang
sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk pemuas nafsu
rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha
mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialisSedangkan Pers
Barat memandang berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka itu
berita yang di sampaikan pada khalayak harus menarik.
Sejarah Perkembangan Pers
di Indonesia
Awal Kemerdekaan
(1942-1945)
Pers di
awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo
(melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).Dalam kegiatan penting mengenai
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta,
tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik,
Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
1. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama
(1945-1959)
Penyebaran
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam
Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio,
maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia
luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.RRI
(Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas
prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan
wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro.
saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya,
yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan
Surabaya.Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia,
yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai
cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic
sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang
dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan,
sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh),
Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan,
lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di
Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping
surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan
nama lama atau berganti nama.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di
Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti
yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di
Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa
pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti
Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu,
para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan
pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI
ini.
Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga
karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.Sementara itu,
para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa.
Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan
wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud
pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah
Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947,
keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan
penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena
pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor
redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap
pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda
mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda.
Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus
politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di
kalangan masyarakat luas
.Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara
pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta
menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan
Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke
Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.Keadaan Republik Indonesia bertambah
suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil
menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum separatis pro Belanda
semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan terhadap para
pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah wartawan
sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai
tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada
juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa=desa terpencil.
Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.Usaha
penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;
kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari
pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI
sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers
oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
Masa
Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal
boleh menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau
pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh
menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul
di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah
sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan
teratur.Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah
pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas
RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh
orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu
dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap.
Selain
itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV
mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan
percetakan koran bangsa Indonesia.Matinya majalah dan koran bermutu di masa
Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah
urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai
urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang
isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.Di masa awal
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir
atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar
larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis.
Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan
alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang
langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan
pemerintahan yang berwenang untuk itu.SIT adalah Surat Izin Terbit
dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi
Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960
diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan
penyiaran.
Pada
bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji
penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung
jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan
akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan
ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat
kabar.PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi
masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang
bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga
karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan
demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.BPS singkatan
dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk
untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal
adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan
Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS
ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga
perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu
menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari
di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila
tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya
ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian
pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan
motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan
Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata
dengan inti tujuan yang sama.Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam
bidang pers dan media massa yaitu:
1. Disiplin
kerja.
Dengan disiplin kerja,
mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi
atasan.
2. Jaminan
Sosial.
Mereka mendapat jaminan
dalam kehidupannya.
3. Hubungan dengan
fungsionaris/tokoh partai.
Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.Sebagai langkah
awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara
Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya
ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang
dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal
13-15 Oktober 1966.Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai
UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah
mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama
masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.Dalam usaha memantapkan
penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah
Dewan Pers.
Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan
dan perkembangan pers nasional.Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde
Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i
keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah
awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.Tahap selanjutnya
adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada
tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif
antara pers, masyarakat dan pemerintah.
Masa Orde
Baru dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden
Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat
setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era
pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas
untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai
wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan
konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.Bagi Indonesia sendiri,
pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika
pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas
penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat
tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit,
sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap
pers perlu dilakukan.
Sebagai
contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi
”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang
menerbitkan pers dan pembredelan.Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor
pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers
mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini
adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.Tak
ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum
dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan
hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu,
kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan
informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Hal ini
sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan
berpendapat.Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya
rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya
reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde
baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang
menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu
mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat.
Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama
atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.Peran inilah yang selama ini
telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden
terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang
luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan
munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan
segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial
dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada
konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan
benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan
se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara
rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya
pemerintahan.Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini,
pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di
satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat
media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun,
di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian
industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar
celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang
menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung
mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar
kecabulan.Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat
informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain,
biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.Sayangnya,
berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan.
Arus
liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin
mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental
dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam
tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang
berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang
mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian
sehari-hari.Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah
pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan
pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian,
dan pandangan teori tanggung jawab sosial.Menurut pandangan libertarian,
semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat
oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori
libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga
argumen.
Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara
bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan
mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya
pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses
terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.Kebebasan
pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang
bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara
kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya
untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan
media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya
dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili
kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.Dalam kerangka
kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional
kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola
(sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik
untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai
fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.
Tidak ada komentar