(kompasiana)
|
SEJARAH PERS DI INDONESIA
A. Pengertian Pers
Secara etimologis, kata pers atau press (dalam Bahasa Inggris) artinya menekan
atau mengepres. Isitlah ini merujuk pada alat dari besi atau baja yang di
antara dua lembar besi tersebut diletakkan suatu barang. Kata pers berkaitan
dengan upaya menertibkan sesuatu dengan upaya menertibkan sesuatu melalui cara
mencetak. Proses produksinya adalah dengan cara memakai tekanan (pressing).
Menurut Lesikow, komunikasi pers memiliki arti sebagai berikut:
a. Usaha percetakan atau penerbitan
b. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
c. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi
d. Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita
e. Media penyiaran berita yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Terdapat dua pengertian tentang pers:
a. Pers dalam arti sempit: adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran,
majalah, tabloid, dan bulletin-buletin pada kantor berita.
b. Pers dalam arti luas: mencakup semua media komunikasi yaitu media cetak,
media audio, media audiovisual, dan media elektronik. Contohnya radio,
televisi, film, internet, dan sebagainya.
Menurut UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik,
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia. Pengertian inilah yang termasuk
pengertian pers dalam arti luas.
B. Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak lepas dari sejarah politik
Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia
terbagi menjadi tiga golongan.
a. Pers Kolonial
Pers kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia
pada masa kolonial. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran
berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan
kaum kolonial Belanda. Di samping itu, pers kolonial juga membantu usaha
pemerintah Hindia Belanda dalam melanggengkan kekuasaannya di tanah air.
b. Pers Cina
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers
Cina meliputi koran-koran, surat, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia, atau
Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
c. Pers Nasional
Pers nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini
bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.
Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan
Priyayi yang sejak tahun 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh
pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan
penerbitan dengan modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Adapun perkembangan pers nasional dimulai sejak masa pergerakan, masa
penjajahan Jepang, masa revolusi fisik, masa demokrasi Liberal, masa demokrasi
Terpimpin, masa orde baru, dan pers di era reformasi sekarang ini.
a. Pers masa pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda
sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa pergerakan tidak
bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat
kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat
perjuangan. Pers saat ini merupakan corong dari organisasi pergerakan
Indonesia.
Karena sifat dan isi pers pergerakan adalah anti penjajahan, pers mendapatkan
tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia
Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup
usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah kantor
berita nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
b. Pers masa penjajahan Jepang
Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang
pernah hidup di zaman pergerakan, secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung
untuk tujuan yang sama, yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa
pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro
Jepang.
Dan di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers radio punya peran yang sangat
signifikan. Ia turut membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa saat
sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan.
c. Pers masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah
saat bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil
diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki
Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan.
• Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan
Belanda. Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali
Belanda untuk bekuasa di Indonesia.
• Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers
Republik disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan
kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi
alat perjuangan masa itu.
d. Pers masa Demokrasi Liberal
Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu
itu Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional
saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan
pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda.
Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai
perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
e. Pers masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa kepemimpinan Presiden Soekarno
(1959-1965). Masa ini berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1955 untuk
mengakhiri masa Demokrasi Liberal yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi Terpimpin dengan mendasarkan kembali
pada UUD 1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional dikatakan menganut konsep
otoriter. Pers nasional saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas
mengagung-agungkan pribadi presiden, serta mengindoktrinasikan manipol. Pers
diberi tugas menggerakkan aksi-aksi massa yang revolusioner dengan jalan
memberikan penerangan, membangkitkan jiwa, dan kehendak massa agar mendukung
pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya adalah dari keinginan untuk
menyiarkan Pesta Olah Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara ini
berakhir, TVRI tidak dapat melanjutkan siarannya karena belum tersedianya
studio dan keterlambatan persediaan film. Atas desakan Yayasan “Gelora Bung
Karno” dibangunlah studio darurat sebagai studio operasional yang memungkinkan
TVRI siaran satu jam sehari. Pada kemudian hari, TVRI semakin berkembang dan
hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun televisi swasta yang juga ikut
melakukan kegiatan pers.
f. Pers masa Orde Baru
Pers senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pers nasional
pada masa Orde Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah
Orde Baru sangat mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan
pembangunan sebagai jalan memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan.
Karena pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik
pembangunan mendapat tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan
mendukung pers, namun dalam perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers.
Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah atau berlaku berani
mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah
Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis
terhadap pemerintahan Orde Baru.
g. Pers masa Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya.
Hal demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang
diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintah pada masa reformasi sangat
mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali
penerbitan pers baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi kemunculan
pers ibarat jamur di musim hujan.
Pada masa inilah marak bermunculan apa yang disebut jurnalisme online. Kalau
sebelumnya pers di Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan media
penyiaran, pada masa ini mulai banyak berdiri sejumlah jurnalisme online.
Jurnalisme ini menggunakan sarana internet sebagai medianya. Jurnalisme ini
mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak
dan media penyiaran.
Kelebihan itu adalah setiap individu memiliki peluang untuk memperoleh
informasi dari sumber yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa
menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang sangat
pendek. Yang ketiga adalah bisa menggabungkan tulisan, gambar, dan suara dalam
satu kemasan (Abrar,2003:49).
Kelebihan itu yang dianggap sebagai tantangan besar bagi para pelaku pers,
terutama surat kabar. Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang sekarang
sudah ada di Indonesia belum bisa dikatakan mengancam keberadaan media cetak
secara besar. Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme media cetak dan jurnalisme
online masih saling melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada pada posisi
yang kuat untuk membangun masa depan berdasarkan posisi unik mereka di masa
lalu yang cukup kuat dan telah mengakar di masyarakat luas. Kehadiran berbagai
media online diyakini hanya akan meredefinisikan media cetak konvensional
(Grafika, 2000:11).
Jurnalisme online sendiri memliki kekurangan. Ia kurang memiliki kredibilitas, sehingga
apa yang sudah orang lihat di internet belum tentu tepat. Maka orang akan
mencari-cari lagi dari sumber yang kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat
pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
UU RI No. 40 Tahun 1999, antara lain juga menjamin kebebasan pers serta
mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan
pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling
hakiki. Pasal 2 menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum”. UU ini juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk
memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.
Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia
pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum
tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap. Dengan instalasi
kabinet B.J. Habibie, proses tersebut dikurangi menjadi tiga tahap saja.
Terlebih pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Departemen Penerangan yang
menjadi momok bagi dunia pers dengan SIUPPnya dibubarkan. Hal ini membawa
pengaruh sangat besar bagi perkembangan dunia pers di Indonesia.
Dengan longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1.000 SIUPP baru telah
disetujui bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Angka tersebut tidak termasuk
sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi dan setelah tahun
2000. Sebagian besar penerbitan tersebut merupakan tabloid mingguan yang
berorientasi politik. Penerbitan tersebut dimiliki dan didukung oleh
konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas-Gramedia Group) dan Oposisi (Jawa
Pos Group).
Namun, dunia pers kembali mengalami kekhawatiran di masa kepemimpinan Presiden
Megawati Soekarnoputri dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. UU Penyiaran tersebut dirasakan banyak pasal yang tidak demokratis
sehingga dapat membelenggu dunia pers, terutama pada pers radio dan televisi.
Pers Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan
identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
• Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan
• Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan
sama dengan partai-partai politik yang mendanainya
• Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
• Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi
• Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J.
Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
C. Kaitan Dengan Model Pers
Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm (1956) membagi sistem
komunikasi pada empat model pers, yaitu Pers Otoritarian, Pers Libertarian,
Pers Soviet Komunis atau Pers Totalitarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial. Di
antara keempat model tersebut, Indonesia pernah menganut Pers Otoritarian, Pers
Libertarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial.
1. Pers Otoritarian
Otoritarian artinya kekuasaan yang mutlak atau otoriter. Falsafah dari teori
pers otoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak dari kerajaan atau
pemerintah yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Teori ini pertama kali
muncul dan dikembangkan di Inggris pada abad XV dan XVII yang kemudian menjalar
ke seluruh dunia.
Pers menjadi pendukung dan kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang
berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor
langsung, dan peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik
mesin cetak, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang
berkuasa. Pers bisa dimiliki baik secara publik atau perorangan, akan tetapi
tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah
(Severin,2005:374).
Pers ini pernah dijalani Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. Masa
Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan
karena itulah system pemerintahan Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin.
Otomatis, system pers Indonesia ikut berubah. Pers kemudian menjadi corong
penguasa dan bertugas mengagungkan-agungkan presiden. Pers diarahkan untuk
membentuk opini masyarakat yang baik kepada pemerintah agar bisa memuluskan
semua kepentingan pemerintahan.
Sama halnya dengan pers masa Orde Baru. Pemerintah sangat berharap rakyat mampu
menjadi mitra dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, yaitu melaksanakan
pembangunan. Barang siapa berani mengkritik atau memberikan pemberitaan yang
menjatuhkan citra pemerintahan, akan mendapatkan tekanan atau hukuman yang
sangat tegas dan nyata. Misalnya dibredel atau SIUPPnya dicabut.
Contohnya, siaran berita televisi pada masa Orde Baru ditujukan semata untuk
kepentingan pemerintah, yaitu sebagai alat propaganda bagi kebijakan pemerintah
dan sebagai situs bagi definisi rezim ini tentang kebudayaan nasional Indonesia
(Sen,2001:152). Televisi swasta dikontrol untuk tidak memproduksi siaran
sendiri, akan tetapi merelay siaran berita TVRI dari Jakarta. TVRI sengaja
menayangkan berita tentang pemerintahan pada malam hari untuk mengetahui reaksi
pemerintah tentang berita yang ada pada media cetak pada pagi harinya. Kemudian
mereka dapat menyaring berita yang baik untuk menjaring dukungan rakyat
terhadap pemerintah.
Untuk saksi mata, berita pada TVRI selalu menghadirkan saksi mata dari pihak
pemerintahan. Tidak ada pemunculan saksi mata dari warga biasa. Jikalau ada,
mereka biasanya hanya dipakai untuk menggambarkan hubungan hirarkis dengan para
pejabat tinggi. Seolah TVRI ingin memberikan kesimpulan bahwa pihak pemerintah
yang paling kredibel untuk semua macam berita. Padahal tidak. Hal ini justru
mengacu kepada pengaburan fakta yang sesungguhnya, serta membatasi masyarakat
untuk berpendapat.
2. Pers Libertarian
Libertarian berasal dari kata liberty yang artinya bebas. Pers ini juga berasal
dari Inggris kemudian masuk ke Amerika Serikat dan selanjutnya ke seluruh dunia
terutama pada Negara yang menganut paham kebebasan atau liberal. Pers
libertarian bertolak belakang dengan pers otoritarian. Falsafah teori ini
adalah pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya
individu secara bebas. Pers bebas mengeluarkan berita baik yang ditujukan
kepada masyarakat maupun negara. Campur tangan negara terhadap pers dianggap
menindas kebebasan pers. Dalam hal ini negara tidak berhak mengontrol kehidupan
pers, justru menjadi alat kontrol sosial.
Pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi
pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan
mencari keuntungan. Di bawah teori ini pers bersifat swasta, dan siapa pun yang
mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media (Severin,2005:376).
Model ini pernah dianut bangsa Indonesia pada pers masa Demokrasi Liberal, di
mana pada masa itu pers sangat menikmati adanya kebebasan pers. Namun pada masa
itu fungsi pers masih terbatas pada bentuk perjuangan kelompok partai atau
aliran politik. Pers belum bisa menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya
karena pemerintahan belum benar-benar stabil setelah perjuangan pada masa
revolusi fisik.
3. Pers Tanggungjawab Sosial
Falsafah dari teori ini adalah pers memiliki tanggungjawab sosial. Falsafah
bahwa pers perlu mempunyai tanggung jawab sosial. Teori ini mulai dikembangkan
di Amerika Serikat pada abad ke-20. Pers memberikan penerangan, berita,
hiburan, dan produk secara bebas, namun dilarang melanggar kepentingan orang
lain dan masyarakat. Para pekerja pers diharapkan memiliki kesadaran bahwa ada
tanggung jawab yang harus diemban atas kegiatan jurnalistik yang dilakukan
secara bebas. Para wartawan menyadari bahwa ada hak orang lain dan masyarakat yang
harus dihargai. Contohnya masalah pribadi, hak asasi manusia, keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Teori ini sebenarnya bermula dari teori pers libertarian. Teori libertarian
sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara yang menganut system politik liberal,
sebab teori ini dinilai merugikan publik. Sebagai gantinya, muncullah teori
pertanggungjawaban sosial pers. Inti ajaran teori ini adalah kebebasan dan
tanggung jawab sosial pers harus berjalan seimbang. Dalam kebebasan ini, dengan
sendirinya melekat tanggung jawab. Hal ini berarti bahwa setiap berita atau
tulisan yang dilansir penerbitan pers harus bisa dipertanggungjawabkan baik
secara jurnalistik, etika, maupun hukum.
Posisi teori ini netral dan berada di tengah-tengah kedua mazhab, yaitu antara
teori otoritarian dan libertarian. Di satu sisi, mereka menerima ideology
kebebasan pers dan di sisi lain juga menerima adanya tanggung jawab sosial atas
berita-berita yang dikemukakan. Pers menjadi alat kontrol masyarakat, tetapi
masyarakat juga dapat mengontrol pers.
Teori tanggungjawab sosial mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu
yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media
dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya
(Severin,2005:379). Media pers dikontrol dikontrol oleh pendapat masyarakat,
tindakan konsumen, kode etik profeisonal, dan dikontrol oleh badan pengatur
karena keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Model pers ini dialami Indonesia setelah masa Orde Baru usai, yaitu pada masa
Reformasi. Pers Indonesia bebas menggunakan haknya untuk meliput berita, akan
tetapi ia juga dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan berita yang
disampaikan. Oleh karena itu hendaknya tiap-tiap pekerja jurnalisme memiliki
ketrampilan jurnalisme yang baik dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
Akan tetapi, walau berita di masa Reformasi kini sudah tidak dipengaruhi lagi
oleh rezim penjajah atau rezim pemerintah yang otoriter, isi berita masih bisa
juga dipengaruhi oleh hal-hal lain. Hal itu adalah pengaruh sponsor iklan dan
pengaruh kepemilikan media. Hal ini yang tampaknya sulit dihindari.
Masing-masing media kini harus berebut sponsor iklan agar bisa melangsungkan
jalannya media tersebut. Oleh karena itu, biasanya kaum pengiklan punya ikut
campur dalam urusan isi berita. Hal ini tentunya juga demi keuntungan yang
diinginkan pihak pengiklan tersebut.
Sedangkan dari sisi kepemilikan media bisa kita lihat dari perisitiwa
pencalonan Ketua Umum Partai Golkar baru-baru ini. Dua kandidat terbesar adalah
Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang kebetulan keduanya memiliki stasiun
televisi yang tayangan utamanya berbasis pada berita. Otomatis, masing-masing
stasiun televisi tersebut digunakan untuk saling bersaing mempropagandakan
keunggulan masing-masing kandidat demi suksesnya tujuan mereka, yaitu terpilih
sebagai Ketua Umum Golkar. Timbullah berita yang sifatnya subyektif dan
cenderung mendukung mereka.
SEJARAH PERS DUNIA
A. Perkembangan Pers Sebelum
Ditemukannya Mesin Cetak
Awal mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari
barbagai literature tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Arca
Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan Kaisar Julus Caesar (100-44
SM). Arca Diurna, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau
sekarang papan informasi), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers,
media massa, atau surat kabar harian pertama di dumia. Julus Caesar pun disebut
sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Dalam sejarah islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang
(2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman
Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal
bersama sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk
mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara
keluar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan.
Pada abad ini manusia dalam menyampaikan informasi masih
menggunakan kertas yang terbuat dari kulit kerbau, sapi, dan sebagainya yang
dikenal dengan vellum. Namun cara membuat kertas dengan metode tersebut
prosesnya panjang dan sangat mahal sehingga hanya orang-0orang tertentu yang
menggunakannya.
B. Perkembangan Pers pada
Abad Ke-15
Pada abad ini ditemukan mesin Gutenberg pada tahun 1450
oleh Jonannes Gutenberg dari Jerman. Gutenberg pertama kalinya membuat acuan
huruf logam dengan menggunakan tinta hitam untuk membuat tulisan aksara latin.
Yang menyerupai tulisan tangan tegak bersambung. Hingga Gutenberg menemukan
mesin cetak bergerak. Dengan adanya mesin cetak ini, memberikan perubahan yang
besar bagi jurnalisme yang menggantarkan jurnalisme ke titik 100%.
C. Perkembangan Pers pada
Abad Ke-18
Pada abad ini jurnalisme lebih pada menuju bisnis dan
alat politik daripada sebuah profesi. Adapula keterampilan desain mulai
berkembang sejalan dengan majunya media percetakan (majalah dan surat kabar).
Pada tahun 1690 terbit surat kabar yang modern. Sejak abad ini jurnalistik
bukan hanya menyiarkan berita (to inform) tetapi juga mempengaruhi pemerintahan
dan masyarakat (to influence).
D. Perkembangan Pers pada Abad
Ke-20
Pada abad ini media semakin berkembang. Pada tahun 1920
munculnya radio dianggap sebagai salah satu pesaing media cetak. Namun, media
cetak tidak kehilangan pembacanya, ptidak seeikit orang membaca berita melalui
media cetak karena berita yang disampaikan melalui radio singkat, sedangkan
berita yang dimuat di media cetak tertulis sangat rinci. Setelah muncu radio,
muncullah televise dan komputer, komputer ini berkembang yang dulunya sebagai
alat ketik manual, kini menjadi komputer dan laptop. Pada abad ini pers lebih
digunakan sebagai media untuk mencurahkan isi hati bangsa yang terjajah.
E. Perkembangan Pers Setelah
Abad Ke-20
Pada abad ini teknologi mengalami perkembangan yang
sangat cepat yang mengakibatkan media juga ikut berkembang. Masa ini dikenal
dengan masa internet. Pada masa ini mulai munculnya situs-situs pribadi yang
memuat laporan jurnalistik pemiliknya seperti web dan blog.
Terdapat beberapa karakteristik media dimasa ini, yaitu sebagai berikut:
a. Audience
b. Immediacy
c. Interactivity
d. Multimedia
capability
e. Non linearity
Respon pemerintah terhadap pers pada masa internet ini
bahwa persdi Indonesia seperti yang dikatakan pemerintah dalam UU No. 40 Tahun
1999 tentang prinsip yang mengatur ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di
Indonesia. Jurnalistik di Indonesia memiliki tiga keistimewaan hak yaitu, hak
tolak, hak jawab, dan koreksi dalam kode etik jurnalis.
Sumber:
http://andhikakindangen.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-pers-nasional.html
http://putrirahmahidayatillah.blogspot.co.id/2017/03/sejarahperkembangan-pers-di-dunia-a.html
Tidak ada komentar